Sabtu, 28 Februari 2009

penciptaan terakhir

bukan maksudku untuk berfilosofi
tapi maksud hati hanya ingin berbagi..
kunamakan karya ini penciptaan terakhir
tanpa unsur mendobrak keyakinan dengan cara vulgar..

aku hanya ingin bercerita
tentang pelangi yang ada di ujung sana..

pelangi itu tercipta setelah alam semesta dan manusia
menjadi hadiah sempurna setelah DIA murka..
keindahan itu berada di ujung nirwana
tidak dapat dijangkau lah takhtanya..
manusia menginjak bulan, meneropong bintang
tetapi siapa dapat menduga kehadiran pelangi yang cepat menghilang..
lahir dari pantulan cahaya sang surya
tetapi keindahannya jauh melebihi sumbernya..
hadir menghibur setelah alam menangis
seakan tangisan dan rintihan akan terkikis..
pelangi itu begitu unik
menjadi karya langit tercantik..

lihatlah pelangi kawan
dan tersenyumlah..
kuharap ia bisa menghiburmu dengan pesona warnanya yang menawan
dan membuatmu tidak jera untuk terus melangkah..



priscie; 28feb; 18.35

sebuah refleksi diri

Seorang teman dekat saya sudah menikah. Sejak masa pra nikah sampai masa menikah, hampir tidak ada conflict berarti yang menyangkut kepribadian pasangan ini. Tetapi justru, conflict “selalu” datang karena adanya pihak ketiga (penguasa yang tidak terelakkan, yaitu orang tua).

Seorang teman saya yang lain lagi, juga sudah menikah. Sejak masa tunangan sampai pernikahan, kedua orang tua mereka mendukung dengan sepenuh hati, tetapi selalu ada saja conflict yang dialami dengan pasangannya karena ketidak cocokan, perbedaan pendapat yang meruncing, dan saling tidak bisa mengalah.

Seorang sahabat saya yang lainnya, mempersiapkan pernikahan. Kedua orang tua setuju, perbedaan pendapat antar keduanya pun selalu dapat disikapi dengan dewasa dan saling mengalah. Tetapi tekanan yang datang mulai mendera karena masalah ekonomi keduanya yang tidak kunjung selesai.

Seorang rekan saya yang lain, belum menikah. Beberapa waktu sebelumnya, ia sempat menjalin hubungan dengan seorang pria. Kedua orang tuanya setuju, pria tersebut memenuhi hampir semua kriterianya, ekonomi yang kuat, hampir tidak ada conflict berarti yang dapat memisahkan mereka, hanya 1 hal “kecil” ternyata yang memisahkan mereka. Sang pria selingkuh dengan wanita lain, dan berakhirlah hubungan tersebut.

Rasanya kalau saya melihat kembali semua rentetan kejadian di hidup manusia, mengapa begitu ironis ? Tidak ada yang berjalan seperti yang diharapkan, idealistis rasanya menjadi kata yang langka dan tidak tersentuh oleh realita kehidupan. Skeptis menjadi kebiasaan manusia untuk berpandangan mengenai kehidupan.

Pada satu titik dalam hidup saya, saya merenung. Pernikahan hanyalah bagian “kecil” (saya katakan “kecil” bukan karena ini tidak penting, tetapi karena hidup tidak sepenuhnya terbentuk dalam pernikahan; terlalu banyak unsur lainnya yang membentuk hidup menjadi benar – benar sebuah kehidupan) yang dipenuhi dengan berbagai intrik. Menyatukan 2 makhluk berbeda jenis, berbeda orientasi berpikir, berbeda pandangan mengenai kehidupan, bukanlah hal yang mudah. Diperlukan ide Ilahi, kerja keras yang dilakukan seumur hidup, dan “kematian” ego berkali – kali sampai terpisahkan oleh maut.

Bukan hal yang mudah (buat saya) untuk memutuskan untuk BERPIKIR akan menikah, apalagi untuk MEMUTUSKAN kalau saya akan menikah. Saya mencoba untuk mempertimbangkan dari berbagai sudut; mulai dari perasaan, logika, kerohanian dan banyak hal lainnya. Pertanyaan terbesar saya adalah “apakah saya membutuhkan pernikahan tersebut untuk menjadikan diri saya lebih maksimal?”

Pertanyaan tersebut sangat..sangat sulit saya jawab. Karena saya mencoba untuk jujur dengan diri saya sendiri. Perasaan saya mungkin mengatakan “ya” (dengan nyaring) tapi logika dan lainnya tidak meneriakkan jawaban yang sama atau mungkin sama tetapi pelan..(hehe)

Pada akhirnya, ketika saya memutuskan untuk MULAI berpikir tentang pernikahan, saya menemukan begitu banyak pertanyaan lainnya yang harus saya jawab demi kepentingan bersama (saya dan pasangan saya, tentunya)..karena bukankah segala sesuatu harus kita jalani dengan sepenuh hati ?

Dan sampai di satu titik ketika saya MEMUTUSKAN untuk menikah, saya mulai berhenti bertanya “mengapa” tetapi “bagaimana”?

Bagaimana menjalani kehidupan didalam pernikahan ? Bagaimana mengerti keindahan dibalik sebuah kehidupan yang pastinya lebih rumit diibandingkan kehidupan saya sebelumnya ?

Saya bukan orang yang haus kesempurnaan, tetapi saya ingin menjalani segala sesuatu dari hati. Kalau saya menjadi sama dengan banyak orang tetapi apa yang keluar dari hidup saya berasal dari hati saya yang paling dalam, saya tidak peduli. Saya juga tidak peduli, kalau saya menjadi sangat berbeda, asalkan (sekali lagi) yang keluar dari hidup saya adalah dari hati.

class;feb;17.15

aku dan kehidupan

biasanya aku ingin memastikan segala hal sempurna..
tapi baru kusadari,
itu seperti berjalan dengan bantuan peta tetapi tanpa lentera..

biasanya aku ingin melihat segala sesuatu berakhir indah..
tapi aku mulai dapat menerima,
hidup tidak seperti boneka porselen yang ditata indah..

biasanya aku ingin memenangkan semua pertandingan..
tapi aku berhasil belajar,
suatu ornamen yang lebih penting dari sebuah kemenangan adalah hubungan..

biasanya aku ingin terlihat tegar dan kuat..
tapi aku mencoba jujur dengan diri,
dan menjadi pemberani tanpa ketakutan mengeluarkan air mata..

biasanya aku ingin menjadi yang paling diperhatikan..
tapi aku menyerah,
karena aku menikmati saat dimana aku berbagi perhatian dengan rekan..


lspr, 28 feb'09; 17.00

Kamis, 01 Januari 2009

in the edge of 2008

Entah kenapa hari – hari ini, saya bosan.

Bosan dengan segala rutinitas yang dijalani, segudang peraturan yang harus diikuti, nilai – nilai tidak tertulis yang harus dipatuhi.

Saya bosan dengan segala yang berputar di sekeliling saya. Membuat saya mual dan ingin muntah. Tanpa sadar, saya jadi terus bertanya kepada diri saya; apa yang sekarang sedang saya jalani ? apa yang sekarang sedang saya perjuangkan ? apa yang sekarang sedang saya “bayar” dengan hidup saya ?

Apakah demi sebuah kebahagiaan yang saya tahu pasti akan membuat saya menjadi orang paling berbahagia atau hanya demi sebuah “image” tentang kebahagiaan yang didasari oleh pendapat umum ? Rasanya terlalu picik kalau harus menjalani hidup berdasarkan konsep orang lain mengenai kebahagiaan.

Sebuah pertanyaan menyeruak lagi di benak saya, apa yang saya sebut sebagai kebahagiaan ? saya seperti tidak bisa menemukan sebuah konsep kebahagiaan bagi hidup saya. Yang saya tahu, ketika saya bahagia, saya akan merasa, saya akan berpikir, saya akan mengerti, bahwa saya bahagia.
Tapi saya sendiri tidak dapat merasakan sekelumit kecil kebahagiaan hari – hari ini, sehingga otak, perasaan dan pengertian saya seakan – akan jadi tumpul dan lumpuh.
Apakah saya menjadi bagian dari kelompok kecil para idealist yang memandang hidup terlalu rumit ? Entah. Ataukah saya hanyalah bagian dari sekelompok manusia melankolis yang mudah dipengaruhi oleh perasaan ? Entah.


Saya hanya bosan harus menyenangkan banyak orang, bosan dengan segala keterikatan yang membatasi saya dalam melakukan sesuatu, menghadang segala imajinasi saya dan memaksa saya untuk masuk dalam putaran kehidupan yang begitu memuakkan.
Pengungkapan yang rasanya sangat aneh dan mengherankan, karena saya “dianggap” memiliki segala hal yang orang lain inginkan. Pasangan, sahabat, orang tua yang cukup harmonis, teman – teman yang memberi perhatian lebih dari cukup, bahkan lingkungan yang menyenangkan.

Pada akhirnya saya menemukan kalau saya ingin menjadi diri saya sendiri. Saya ingin “exist” dengan keberadaan saya sendiri. Saya ingin menikmati diri saya sebagaimana saya ada, berubah karena saya mau bukan karena tuntutan, merasakan kebebasan dan mencapai apa yang saya anggap paling berarti, bukan karena hal tersebut berarti bagi orang lain, tapi karena saya menghargai hal tersebut lebih dari apapun.

Saya ingin berada di jalan yang tidak sama dengan orang kebanyakan. Memiliki pikiran yang tidak melulu persis dengan pendapat orang banyak, melihat, menilai, menghargai dan membayar “harga” untuk sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan apa yang khalayak ramai inginkan.

Saya bukan terobsesi untuk tampil beda, tapi entah kenapa menjadi sama bukanlah jati diri saya. Saya mengerti kalau semua keunikan manusia ada yang mengatur. Penguasa di Atas Sana yang membuat segala sesuatu indah pada WaktuNya dan tepat pada fungsi yang Ia mau.

Saya hanya ingin belajar dan mengerti lebih dalam, memahami hidup lebih sempurna dan menjadi seperti apa ada nya saya.