Sabtu, 28 Februari 2009

sebuah refleksi diri

Seorang teman dekat saya sudah menikah. Sejak masa pra nikah sampai masa menikah, hampir tidak ada conflict berarti yang menyangkut kepribadian pasangan ini. Tetapi justru, conflict “selalu” datang karena adanya pihak ketiga (penguasa yang tidak terelakkan, yaitu orang tua).

Seorang teman saya yang lain lagi, juga sudah menikah. Sejak masa tunangan sampai pernikahan, kedua orang tua mereka mendukung dengan sepenuh hati, tetapi selalu ada saja conflict yang dialami dengan pasangannya karena ketidak cocokan, perbedaan pendapat yang meruncing, dan saling tidak bisa mengalah.

Seorang sahabat saya yang lainnya, mempersiapkan pernikahan. Kedua orang tua setuju, perbedaan pendapat antar keduanya pun selalu dapat disikapi dengan dewasa dan saling mengalah. Tetapi tekanan yang datang mulai mendera karena masalah ekonomi keduanya yang tidak kunjung selesai.

Seorang rekan saya yang lain, belum menikah. Beberapa waktu sebelumnya, ia sempat menjalin hubungan dengan seorang pria. Kedua orang tuanya setuju, pria tersebut memenuhi hampir semua kriterianya, ekonomi yang kuat, hampir tidak ada conflict berarti yang dapat memisahkan mereka, hanya 1 hal “kecil” ternyata yang memisahkan mereka. Sang pria selingkuh dengan wanita lain, dan berakhirlah hubungan tersebut.

Rasanya kalau saya melihat kembali semua rentetan kejadian di hidup manusia, mengapa begitu ironis ? Tidak ada yang berjalan seperti yang diharapkan, idealistis rasanya menjadi kata yang langka dan tidak tersentuh oleh realita kehidupan. Skeptis menjadi kebiasaan manusia untuk berpandangan mengenai kehidupan.

Pada satu titik dalam hidup saya, saya merenung. Pernikahan hanyalah bagian “kecil” (saya katakan “kecil” bukan karena ini tidak penting, tetapi karena hidup tidak sepenuhnya terbentuk dalam pernikahan; terlalu banyak unsur lainnya yang membentuk hidup menjadi benar – benar sebuah kehidupan) yang dipenuhi dengan berbagai intrik. Menyatukan 2 makhluk berbeda jenis, berbeda orientasi berpikir, berbeda pandangan mengenai kehidupan, bukanlah hal yang mudah. Diperlukan ide Ilahi, kerja keras yang dilakukan seumur hidup, dan “kematian” ego berkali – kali sampai terpisahkan oleh maut.

Bukan hal yang mudah (buat saya) untuk memutuskan untuk BERPIKIR akan menikah, apalagi untuk MEMUTUSKAN kalau saya akan menikah. Saya mencoba untuk mempertimbangkan dari berbagai sudut; mulai dari perasaan, logika, kerohanian dan banyak hal lainnya. Pertanyaan terbesar saya adalah “apakah saya membutuhkan pernikahan tersebut untuk menjadikan diri saya lebih maksimal?”

Pertanyaan tersebut sangat..sangat sulit saya jawab. Karena saya mencoba untuk jujur dengan diri saya sendiri. Perasaan saya mungkin mengatakan “ya” (dengan nyaring) tapi logika dan lainnya tidak meneriakkan jawaban yang sama atau mungkin sama tetapi pelan..(hehe)

Pada akhirnya, ketika saya memutuskan untuk MULAI berpikir tentang pernikahan, saya menemukan begitu banyak pertanyaan lainnya yang harus saya jawab demi kepentingan bersama (saya dan pasangan saya, tentunya)..karena bukankah segala sesuatu harus kita jalani dengan sepenuh hati ?

Dan sampai di satu titik ketika saya MEMUTUSKAN untuk menikah, saya mulai berhenti bertanya “mengapa” tetapi “bagaimana”?

Bagaimana menjalani kehidupan didalam pernikahan ? Bagaimana mengerti keindahan dibalik sebuah kehidupan yang pastinya lebih rumit diibandingkan kehidupan saya sebelumnya ?

Saya bukan orang yang haus kesempurnaan, tetapi saya ingin menjalani segala sesuatu dari hati. Kalau saya menjadi sama dengan banyak orang tetapi apa yang keluar dari hidup saya berasal dari hati saya yang paling dalam, saya tidak peduli. Saya juga tidak peduli, kalau saya menjadi sangat berbeda, asalkan (sekali lagi) yang keluar dari hidup saya adalah dari hati.

class;feb;17.15

1 komentar: